Slawi, PPJ
Bappeda kabupatenTegal 12 November 2021 sedianya mengundang kalangan Seniman,Budayawan beserta pejabat dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten Tegal di ruang Lokakarya Kantor Bappeda Tegal, tak kurang dari 15 peserta hadir untuk membahas pentingnya Folkloor Tegal sebagai Kekayaan Intelektual yang perlu dilindungi dan didokumentasikan.
Demikian Triyono selaku perwakilan dari Bappeda mengawali pembahasan. namun hingga dua jam berikutnya para peserta tidak fokus ke arah inti dari pembahasan pentingnya cerita rakyat kabupaten Tegal untuk dikumpulkan dan dilaporkan pada pemerintah daerah.”bilamana folkloor yang ada di masyarakat tidak diketahui siapa pengarangnya, maka pemerintah wajib mendata dan menguatkan cerita tersebut sebagai kekayaan intelektual.
Profesor doktor Mau dur yang hadir pagi itu malah lebih membanggakan dirinya sebagai penulis sastra Tegalan, padahal apa yang ditulisnya itu adalah karya puisi dan cerita cekak dalam bahasa Tegal. Lain lagi dengan Imam Joen, ketua Dewan Kesenian kabupaten Tegal ini datang bersama jajaran pengurusnya mengusulkan agar lagu ciptaannya dijadikan lagu ikon yang bisa diputar di mall, di stasiun dan tuturan kereta. karena daerah lain sudah melakukannya.
“Saya punya lagi ciptaan saya yang berjudul Slawi, sepertinya sangat cocok jika dijadikan ikon kabupaten Tegal,” Ujar imam Joen.
“Sedang kasi kesenian malah mendukung Kabid Kebudayaan Dra Wuninggar yang meminta agar Tari Endel dijadikan kekayaan Intelektual mengingat sudah ada yang menulis dan musiknya sudah digarap dengan dana pemerintah. Namun demikian Diah Setyawati seniwati Tegal yang dikenal lewat karya sastra dan penulisan cerita rakyat dalam bahasa Tegal bukan Tegalan, menyebut Tari Endel sebagai penyebab matinya Tari Topeng Tegal yang memiliki 6 jenis tarian tidak dilakukan pelestarian malah salah satunya yaitu tari endel dieksploitasi jadi proyek oleh oknum pejabat kesenian yang mengaku berbudaya,” ujar Diah Setyawati ketua Sanggar Asah Manah yang tengah menyiapkan pelatihan mendongeng cerita rakyat khas kabupaten Tegal untuk lomba tingkat Provinsi di Solo minggu depan.
“Saya punya puluhan cerita rakyat asli kabupaten Tegal,puisi, adat dan di kanan bocah serta tata cara pengantin Tegal. semua sudah saya Tulis dengan menggunakan Bahasa Tegal dan Bahasa Indonesia, maaf yang berbahasa ibu Tegal saya anti menyebutnya bahasa Tegalan. Lain Diah lain pula Surono. tokoh pendidikan dan dalang yang mengaku telah berpengalaman keliling berbagai negara ini mengatakan bahwa kisah dan cerita yang dilakonkan pada pentas wayang cepak adalah folkloor. tapi sebagian teman yang hadir menolak sebab pada kenyataannya cerita di pentas wayang cepak adalah cerita banda atau sejarah kaum menak. Jika dirunut dari awal rapat yang digagas Bappeda kabupaten Tegal ini gagal karena intinya membahas folkloor malah mencatat wangsalan yang akan dibahas serius diwaktu mendatang.” tegas Triyono.
Para undangan dan peserta Loka Karyapun akhirnya pulang dengan wajah murung, utamanya Ibu Diah Setyawati yang jauh jauh membawa sebundel cerita rakyat Tau folkloor dengan harapan diangkat kisahnya dicetak dan penulisnya mendapat Royalti, pulang murung karena harus terus melatih anak binaannya mengikuti lomba bercerita khas daerahnya sendiri. (Nunh/Dibyo)